(Mengenal lebih dekat tentang diri saya) - MELANGKAHKAN PILIHAN HIDUP MENJADI DOKTER SPESIALIS KEDOKTERAN JIWA (PSIKIATER)




Prolog

Setiap insan Allah memiliki pikiran dan jiwa yang setara dalam satu paket. Mendengar atau membaca tentang jiwa kadang membuat penolakan diri "sudah ada dari sononya", tetapi kadang kita lupa menghayati makna keduanya yang saling berkaitan.
Saya harus memunculkan judul yang menarik buat anda belajar untuk mendalami jiwa yang ada pada diri masing-masing hamba Allah, bahkan mungkin anda bisa belajar mengenali kelebihan dan kekurangan diri sendiri serta pasangan hidup yang kemudian berlanjut memahami pribadi masing-masing anak.


Masa Kecil

    Saya terlahir sebagai anak nomer tiga dari enam bersaudara, yang terdiri dari empat orang wanita diapit dua orang pria sulung dan bungsu, dengan "darah" sumatera asli, ayah suku aceh dan mama suku minang.
Kami dimasukkan ke sekolah katolik Santa Ursula, Jakarta Pusat yang muridnya semua wanita, begitu pula abang dan adik di sekolah katolik juga. Pemilihan sekolah tersebut agar kami bisa bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan memiliki disiplin kuat.
Ayah adalah seorang militer, dan lulusan sekolah hukum dari Universitas Leiden - Belanda. Ayah selalu mengajarkan kami bagaimana bersosialisasi dengan baik tanpa memandang seseorang dari kalangan status sosial, pendidikan, suku, agama dan "keturunan". Sedang mama seorang guru, pegawai negeri yang pernah mendapat tugas untuk memberikan pelatihan mengajar kepada guru-guru Singapore dan guru-guru Malaysia pada tahun 1975. Setelah kembali ke  Indonesia, amam menjabat sebagai Penilik Sekolah Dasar wilayah Menteng, Jakarta.
Kami bangga pada kedua orang tua yang memiliki kemampuan menguasai beberapa bahasa dengan fasih antara lain belanda, jerman, perancis, dan inggris.

     Meskipun dengan kesibukan kedua orang tua kami tersebut, namun tetap membuat kami bisa bersantap bersama baik siang maupun malam, tentunya setelah belajar mengaji bersama ayah. Yang membikin kami tetap akur walau ayah-mama sibuk, adalah kehadiran papi-mami panggilan kakek nenek serta "ibu" panggilan adik nenek yang ikut tinggal bersama kami.
Masa kecil kami benar- benar indah, kami kompak saling tolong menolong walau kadang abang suka menakuti kami dengan berbagai cara agar si bungsu menangis.
Peran papi mami serta ibu juga sangat besar. Mereka sangat pinter menyajikan makanan serta lauk pauk masakan minang. Terus terang lidah kami sudah terbiasa  dengan rasa minang.

     Sejak kecil saya dan kakak dimasukkan kurus tari minang dengan pengajar om Khaidir (alm) yang terletak bersebrangan dengan Gedung Kesenian di Jakarta Pusat. Kami sering tampil bila ada undangan dan terus berlanjut sampai SMA, hanya tidak terlalu rutin. Kesibukan saya bertambah dengan bermain volly, basket dan drum band selain kursus bahasa Jerman di Goethe serta les piano walau hanya sebentar. Ternyata tanpa disadari bakat musik, tari dan menyanyi begitu kuat dalam diri saya sehingga memilih lebih belajar bahasa Jerman dengan maksud untuk melanjutkan kuliah "kesenian" di Jerman dan berencana akan tinggal bersama inyi (panggilan sahabat papi sejak kecil yang telah menikah dengan wanita Jerman namun tidak dikarunia anak).


Masa Kecil bersama adik mama di Tasikmalaya dan Masa Berkumpul kembali bersama ayah dan mama di Jakarta

      Terus terang semenjak kecil saya merasakan kekosongan jiwa. Sebelum saya masuk sekolah dasar, saya sempat tinggal di Tasikmalaya bersama papi mami, kakak mama (om) dan istrinya yang saat itu mereka belum dikarunia anak, sehingga kehadiran saya sangat diharapkan mereka. Menurut cerita mami, saya "dijual"  oleh mama kepada om dengan harga terendah dari uang yang dimiliki om dan menurut mami ini merupakan tradisi minang (di masa lalu), disebabkan karena wajah saya mirip mama.
Kehidupan mereka sangat sederhana, om ku bekerja sebagai asisten apoteker. Jadi pada waktu saya kembali pulang ke Jakarta, saya merasakan perbedaan cara asuh atau perhatian. Entah mengapa saya butuh perhatian mama dan berharap mendapat perlakuan sama dengan kakak dan adik-adik. Meskipun perhatian papi mami terhadap saya sudah sangat berlebih dibanding cucu-cucu mereka yang lain. Dampak dari perbedaan ini membuat saya menjadi  gadis  pemberani, membela teman yang lemah atau di bulli, berkelahi bila ditantang, sehingga kerap mendapat hukuman, namun beberapa guru juga sayang kepada saya dan memilih saya  menjadi ketua kelas. Meskipun demikian, kekosongan jiwa tetap ada dalam diri saya. Akibatnya saya mengalami " luka bathin", istilah sekarang " gangguan depresi".

     Ketika saya duduk di kelas satu menengah atas, kekosongan jiwa terasa begitu kuat. Kehadiran mama secara psikologis tidak muncul. Keputusasaan akan kehidupan sangat menghantui pikiran. Sejak kecil saya sudah sering melakukan tradisi puasa senin kamis dan shalat tahajud namun belum tau maknanya sehingga kekosongan jiwa tak teratasi lagi dengan hal-hal rutinl seperti ini. Akhirnya saya melakukan tindakan  dengan memplesetkan kaki kanan dengan sengaja agar celaka dan jatuh mengglinding dari lantai dua. Salah satu guru yang melihat saya terjatuh memberikan minum air putih hangat tapi saya menolak karena puasa. Kepala terasa berat tapi saya tetap melanjutkan perjalanan pulang ke rumah dan langsung rebahan disebelah papi yang saat itu sedang membaca koran sambil tiduran. Ketika sore hari papi membangunkan saya untuk mengganti pakaian sekolah, shalat dan makan karena waktunya sudah terlewat, namun tubuh saya tak dapat digerakkan sama sekali bahkan kepalapun tidak bisa di angkat. Akhirnya ayah menggendong dan membawa saya ke RSPAD Gatot Subroto dan dirawat selama tiga bulan oleh seorang dokter tentara yang ahli dibidang neuropsikiatri. Beliau sangat telaten merawat saya. Dari kepala sampai kaki tidak boleh digerakkan. Ketika dokter memperbolehkan saya pulang, beliau mengatakan bahwa saya belum boleh "berpikir" terlalu berat seperti berhitung dan menghafal. Saya tidak merasa putus asa dengan kondisi ini. Saya harus bangkit dan tetap terus melatih daya ingat akibat trauma berat di kepala, oleh sebab itu saya harus minum obat teratur dan berlangsung cukup lama selama dua belas tahun tanpa berhenti . Itu saya lakukan karena keinginan kuat saya untuk sembuh sempurna karena - saat itu - saya mengalami hambatan dalam menghafal pelajaran dan hitungan, sehingga akibatnya saya membutuhkan waktu untuk mengulang berbagai mata pelajaran. Melihat kondisi seperti ini tiba-tiba mama memindahkan saya ke sekolah negri kebetulan dekat dari rumah tanpa memberitahukan kepada saya.


Pindah ke kota Bandung dan (akhirnya) menjadi dokter

      Setamat SMA saya sudah mempersiapkan untuk melanjutkan sekolah musik, tari dan nyanyi di Jerman dan akan tinggal dengan inyi. Sayangnya mama tidak menyetujui keinginan saya dan mengharuskan saya  masuk kuliah di kedokteran. Sejujurnya perasaan saya waktu itu menolak karena saya harus fokus terhadap kuliah tsb. dan ini menimbulkan beban buat saya. Oleh sebab itu saya tidak serius dalam kuliah dan berharap kegagalan untuk membalas sakit hati ini pada mama. Melihat teman-teman kuliah yang serius berlomba mendapat nilai terbaik, terus terang tak terpikir oleh saya malah berharap di D.O (drop out). Dalam mengikuti kuliah saya merasakan jenuh akan setiap mata pelajaran yang tidak menarik. Kekosongan hidup saya tak perrnah hilang maka muncullah keinginan mengakhiri hidup kembali dengan cara menabrakkan diri ke oplet yang berjalan dari Dago Atas meluncur ke bawah Jalan Dago. Bandung. Namun tindakan ini dapat digagalkan oleh teman kuliah yang rupanya memperhatikan perilaku saya. Pada akhirnya  saya sadar dan berpikir, mengapa tiga kali melakukan tindakan "suicide" gagal melulu dan ini pasti ada rencana Allah yang indah untuk saya.

     Untuk tetap kuliah sesuai keinginan mamam saya mencari kesibukan dengan mengikuti berbagai aktivitas seperti folk song, volly ball, AMP (Atlas Medical Pioneer), dan tetap berlatih tarian minang di Bandung. Saya mendapat kesempatan mengikuti test program pertukaran pemuda Asean dan beruntung lulus test sehingga dapat mengikuti  program pertukaran pemuda asean dengan kapal Nippon Maru. Prosesnya cukup panjang sehingga mengharuskan cuti kuliah, mulai mendaftar dilanjutkan berbagai tes yang dipusatkan di Cibubur, bersamaan dengan test untuk program pertukaran pemuda ke Kanada dan Australia. Bersyukur saya mendapat delapan orang teman satu kamar yang kompak, dan mayoritas dari penghuni kamar kami ini lulus mengikuti pertukaran pemuda. Beberapa bulan kemudian saya dipanggil untuk masuk asrama haji di cempaka putih untuk mengikuti pelatihan bersama dengan teman-teman dari 35 provinsi selama satu bulan untuk mempersiapkan mental. Sangat menyenangkan bertemu dengan teman-teman beraneka latar belakang pendidikan, suku, budaya dan adat istiadat serta agama tetapi tetap bersatu untuk Indonesia. Program ini membuka mata saya dalam bersosialisasi, belajar berempati, kekompakan, saling menghargai, saling membantu. Terkadang tanpa disengaja muncul egois, iri, culas selama program berjalan atau ketika singgah di suatu negara untuk menginap  bersama teman dari negara asean lainnya, tetapi kita harus bisa menyesuaikan diri baik dengan teman maupun keluarga angkat. Pengalaman yang sulit dilupakan.
Sepulang dari program, saya melanjutkan kuliah dengan suasana hati berbeda. Teman-teman seangkatan sudah banyak yang lulus menjadi dokter namun bagi saya tidak menimbulkan rasa kecil hati, tetap berjuang bahkan semakin semangat. Pengalaman mengikuti program pertukaran pemuda  membuka pandangan saya mengenai kehidupan dan kesuksesan. Oleh sebab itu saya  bertekad maju nenyelesaikan co-ast untuk mendapatkan gelar dokter.



Pada tahun 1985, saat mengikuti program Co-ast, saya dipertemukan kembali dengan orang yang delapan tahun sebelumnya - tahun 1976 - pernah duduk di depan saya waktu mengikuti ujian testing masuk seleksi menjadi mahasiswa ITB. Saya menerima ajakannya saat diminta untuk mendampingi wisudanya di itb dan sekaligus bertemu dengan orang tuanya.


Pengabdian menjadi Dokter
    
   Setelah saya menjadi dokter, saya mendapat tempat pengabdian di Puskesmas Kelurahan Galur, Jakarta Pusat. Saya turun langsung menghadapi pasien, bila pasien tidak bisa datang ke puskesmas maka saya bersedia mendatangi rumah pasien dan memeriksanya serta memberikan obat yang diperlukan sesuai dengan obat-obatan yang tersedia di puskesmas.
       Pada tahun 1993, sepulang dari menjadi Tenaga Kesehatan Haji Indonesia, saya mendapat tawaran dari Donas Kebudayaan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk berangkat mendampingi misi kesenian Indonesia ke Eropa dengan catatan selain saya bertugas sebagai tenaga kesehatan romongan misi kesenian, saya juga harus membawakan tarian jawa karya penari Sampan Hismanto, tarian yang sama sekali belum pernah saya lakukannya, tetapi karena memang saya senang belajar menari maka tarian ini mudah saya kuasai, gerakannya lincah dan menyenangkan. Ketika tampil di Kedutaan Belanda saya diperkenalkan sebagai seorang dokter yang memiliki talenta dalam seni tari dan nyanyi. Kemudian mereka meminta saya untuk menyanyi diiringi musik, saya pilih lagu minang " kampuang nan jauh di mato ". Rupanya lagu ini mengingatkan mereka akan kampung halamannya di Indonesia.


Menapakkan kaki sebagai Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa (Psikiater)

    Sepulang dari layatan misi kesenian di Eropa, saya melamar Program Pendidikan Dokter Spesialis di universitas Indonesia. Saya memilih Program Spesialisasi Kedokteran Jowa (Psikiatri) sesuai arahan suami bahwa kedepan masyarakat Indonesia sangat membutuhkan psikiater, dengan melihat perkembangan kehidupan di masa mendatang di mana "pressure" semakin meningkat, masalah narkoba, perkembangan teknologi komunikasi, dsb akan memberikan dampak pada anak-anak, peran orang tua, rumah tangga, dsb.
     Hal ini memunculkan pemikiran dalam benak saya, bahwa setiap orang memiliki "jiwa", dan setiap orang memiliki berbagai macam permasalahan yang dihadapi karena tidak ada seorangpun di dunia ini yang luput dari masalah. Selama ia masih bernafas maka ia akan tetap berhadapan dengan persoalan-persoalan kehidupan. 
Pilihan Peogram Spesialis Kedokteran Jiwa di Universitas Indonesia merupakan saran tepat dari suami untuk  memberi pengertian dan pemahaman mengenai jiwa seutuhnya dengan melihat anggapan dan kesan masyarakat tentang kesehatan jiwa yang sampai saat kini masih terlalu dangkal. Maka inilah saatnya membuka dan mengubah pandangan masyarakat mengenai kesehatan jiwa menjadi positif agar mereka menemukan perilaku/sikap sehat jiwa.



     Pada akhirnya saya menyadari bahwa kekosongan hidup selama ini adalah adanya kebutuhan akan kehadiran peran seorang mama (ibu). Berpuluh tahun mengharapkan perhatian, sentuhan, dukungan dari seorang mama namun kurang terlihat. Pemaksaan kehendak, keharusan, kemauan/keinginan mama yang harus diikuti tanpa membicarakan terlebih dahulu membuat saya kehiangan figur ibu. Dan itu mendatangan keeruntungan, karena bila mama tak melakukan hal ini pada saya, ada kemungkinan saya tidak menjadi seperti ini. Terima kasih mama, yang telah mengajarkan kematangan mental untuk saya menjalani kehidupan yang naik turun berkelok-kelok mirip "kelok ampe puluah ampe"  yang terjal namun berhasil dilaluinya.


Penutup

     Menjadi seorang spesialis kedokteran jiwa adalah suatu "art"  bagaimana menggunakan tehnik berhadapan dengan seseorang yang membutuhkan penyelesaian masalah tanpa menimbulkan keluhan fisik.
     


Terimakasih juga pada Allah yang telah  memberikan pasangan hidup yang baik, sabar, mengerti dan paham dalam mendampingi saya sampai saat kini serta kehadiran dua orang anak laki-laki dan perempuan. Anak yang pertama laki-laki sudah menikah dan memberikan dua orang cucu yang lucu merupakan hiburan tersendiri bagi kami. Kemudian anak kedua adalah wanita yang sudah bekerja dan tinggal di Perth, Australia


Meudiraf Consulting


dr. Tjut Meura Salma Oebit, SpKJ
IG: meudiraf_consulting
Email: tmeura.edi@gmail.com
Mobile: +62 821 2251 4084

Komentar